Jumat, 01 Februari 2013

MASA ANTI CHINA DI ORBA


Kalau mau berbicara mengenai Diskrimasi terhadap Warga Keturunan Tionghoa di Indonesia , maka akan sangat banyak aspek yang harus dibahas dan kita juga bingung untuk memulainya dari mana karena saking banyaknya aturan2 dan larangan2 yang terutama dibuat oleh rezim Orde baru untuk mendukung pen-diskrimasian terhadap Warga Keturunan Tionghoa,  hal ini juga berkaitan dengan sangat lamanya waktu pen-diskrimasian sesuai dengan masa kuasa Orde baru yang 32 tahun lamanya .

Salah satu permulaan dari kebijakan pen-diskriminasi-an terhadap etnis Tionghoa dimulai dari diselenggarakannya seminar AD II , 25-31 Agustus 1966. Yang dengan Seminar tersebut , Jenderal Soemitro ( kini sudah almarhum ) dalam memoarnya yang berjudul “Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib.” , Dalam Memoar tersebut Jenderal Soemitro  mengisahkan wajah kebijaksanaan politiknya semasa menjadi Pangdam Jawa Timur, yaitu menolak dan tidak suka pada apa saja yang berbau Cina. Kata Jenderal Soemitro yang kemudian menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dalam memoarnya “… Yang berbau Cina saya hilangkan. Saya larang pemakaian bahasa Cina di muka umum. Saya larang mereka mereka melakukan pembukuan dalam bahasa Cina , Jualan dengan memakai bahasa Cina juga saya larang ( dalam hal ini dia pernah secara langsung menggampar dan kemudian menahan seorang pedagang yg dipergokinya menggunakan Bahasa mandarin dalam pembicaraan di sebuah pasar ) Memang Jenderal Soemitro ini adalah salah satu yang paling terkenal keras dalam menjalankan politik “ Anti Cina “ . “ Tentang agama saya sarankan mereka memilih agama yang ada di daerahnya, yaitu antara lain Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Suku mereka adalah di mana mereka lahir. Saya himbau bagi WNI agar nama diganti dengan nama Indonesia, atau suku di mana mereka lahir. Semua ini saya keluarkan pada tanggal 1 Januari 1967.” Tanpa tedeng aling-aling Jenderal Sumitro bertutur tentang segala kebijakannya yang dengan sepenuh kesadaran menindas komunitas Tionghoa di Jatim yang tersarikan dalam sebuah kalimat ringkas. “pendeknya, segala yang berbau Cina, saya larang” ( Secara jelas Dia bermaksud melakukan semacam “Genosida” dengan melalukan “ Pembantaian Budaya “ -  “ Pembantaian Tradisi “ dan “ Pembantaian Bahasa “ Tionghoa ), sampai kepada kreatifitas nya menyusun hadiah Tahun Baru 1 Januari 1967 berupa paket peraturan yang pada dasarnya melucuti seluruh HAM pada soso manusia beretnik Tionghoa di negeri ini. Seperti diubahnya sebutan kata Tiongkok/Tionghoa menjadi “ C i n a ” ( Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina No.SE-06/Pres.Kab/6/67 ) dan sampai dengan dibentuknya sebuah Badan khusus untuk menangani hal ini yaitu Badan Koordinasi Masalah Cina / BKMC , yang  sampai dengan hari ini belum pernah terdengar badan ini dibubarkan , walaupun tidak juga terdengar lagi aktifitasnya tapi jelas Badan ini masih ada .

Jadi kesimpulannya , kita etnis Tionghoa ini dianggap bermasalah oleh ORBA sampai2 mereka merasa perlu membentuk Badan khusus untuk itu , masih ada berbagai peraturan lain seperti Pelarangan penggunaan bahasa Mandarin, pelarangan melaksanakan tradisi /budaya/adat-istiadat yang dikenal dengan sebutan Inpres No. 14 / 1967 ( sekarang sudah dicabut ) dll .

APA DASAR PENGGUNAAAN ISTILAH “ CHINA “ ATAU “ CINA “
Salah satu pertimbangan yang dipakai untuk resmi menggunakan istilah “Cina” sebagai pengganti istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” seperti dikemukakan dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera. Tentang Masalah Cina Nomor: SE-06/Pres.Kab/6/1967, tertanggal Jakarta, 28 Juni 1967- adalah, bahwa ras Cina itu pernah berada di bawah pemerintahan dinasti Chi’n. Jelas ini adalah pengingkaran dari kesepakatan pada waktu mulai dipakainya sebutan Tionghoa , Padahal Tiongkok tidak hanya pernah diperintah dinasti Chi’n. Ada banyak dinasti yang pernah memerintah Tiongkok dan masa kuasanya pun jauh lebih panjang katimbang Dinasti Chi’n , jadi jelas ini adalah alasan yang mengada-ada untuk tujuan mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia .

Lalu, mengapa Pemerintah ORBA kok justru memilih dinasti Chi’n yang masa kuasanya bahkan lebih singkat ketimbang masa kuasa ORBA sendiri? Padahal Sekretaris Presidium Kabinet Ampera Brigjen.T.N.I. Sudharmono, S.H. yang menanda tangani Surat Edaran No. SE-06/Pres.Kab/6/1967 dapat dipastikan belum tentu beliau benar-benar tahu seluk beluk dinasti Chi’n tersebut.

Jadi, apakah sebenarnya dasar yang melatarbelakangi pengubahan sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina itu? ORBA yang baru saja mengalahkan ORLA ( menyebut era Pemerintahan Presiden Soekarno dengan ORLA adalah gagasan ORBA itu sendiri ), yang karena prasangka rasialnya yang kebablasan, berangggapan bahwa komunitas Tionghoa Indonesia disebabkan oleh factor kesamaan ketionghoaan menjadi potensial sewaktu-waktu bisa bertindak sebagai kaki-tangan RRT, yang merupakan musuh besar bagi negara-negara majikan ORBA ( Negara-negara inilah yang menjerumuskan Indonesia dalam Jurang Hutang yang harus ditanggung oleh anak–cucu kita ) , oleh karena itu etnis Tionghoa mentalnya harus segera dihancurkan dengan cara mengubah sebutan Tionghoa menjadi Cina disertai dengan berbagai tindakan-tindakan pemusnahan segala yang berbau Tionghoa. Seperti dilarangnya bahasa mandarin, atau pergi beribadah ke kelenteng dan tidak diakuinya agama Khong Hu Cu di Indonesia serta tidak boleh dirayakannya Hari Raya Tahun Baru Imlek dlsb. Jadi sebutan Cina – Cino oleh Rezim ORBA pada tahun 1967, kesemuanya adalah tindakan politik yang dilakukan oleh sebuah kekuatan politik yang berkuasa terhadap pihak lemah yang berada dalam genggaman kuasanya. Sudah barang tentu sepenuhnya semuanya kental beraroma pelecehan dan penghinaan . Semoga dengan ini para pihak yang selama ini bertahan pada pendapat bahwa penolakkan disebut Cina sebagai sikap arogan, mulai bisa melihat, bahwa nuansa pelecehan dan penghinaan dalam penyebutan kata tersebut memang cukup kental.

Kalau tidak, untuk apa rezim Orba di tahun 1966/1967 (Seminar AD II Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dan Presidium Kabinnet Ampera , 28 Juni 1967) ditengah-tengah tingginya kesibukan melakukan konsolidasi kekuasaan yang masih belum mantap, lalu berperilaku seperti orang kurang pekerjaan, iseng mengkutak-katik perubahan sebutan dari Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina? Apakah tindakan mengganti sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina memang lebih penting dari tindakan konsolidasi kekuasaan yang baru diraihnya? Pertanyaan yang salah! Karena tindak penghancuran mental Tionghoa dengan penggantian sebutan Tionghoa menjadi Cina dan berbagai tindakan yang mengiringinya seperti disebut di atas, adalah justru bagian dari tindakan Rezim Orba untuk mengkonsolidasi kekuasaan politik yang baru saja diraihnya, melalui media peristiwa politik G 30 S tahun 1965 ( yang sampai saat ini masih terjadi banyak kontroversi dan beda pendapat tentang kebenarannya yang hakiki ).

Sampai di sini semoga perdebatan tentang sebutan Cina atau Tionghoa diantara sesama korban kebrutalan rezim Orba. Disudahi. Selanjutnya bersatu guna bersama-sama memperjuangkan dicabutnya SE-06/Pres.Kab/6/67 dan kemudian biarkan kedua sebutan kembali seperti sebelum terjadinya peristiwa G 30 S, dipergunakan secara berbarengan sebagai perbendaharaan kata komunikasi saja, tanpa nuansa politis apapun .

Pada awalnya perubahan sebutan dari China menjadi Tonghoa diterima dengan segala kewajaran dan mengalir dengan apa adanya dan hal ini adalah sesuai kesepakatan komunitas media waktu itu , karena media yang pertama kali berani memuat  teks Lagu “ Indonesia Raya “ dan tidak lagi menggunakan kata “ Inlander “ untuk menyebut “ Bumi Putera “ adalah media  yang dikelola dan dikomandoi oleh etnis Tionghoa ( untuk ini mereka berani menanggung resiko ditangkap dan di bui oleh Pemerintahan Penjajah Belanda ), hal ini terjadi sebelum media2 yang lain berani melakukannya dan ini dianggap sebagai “ Balas Budi “ terhadap dukungan etnis Tionghoa  pada perjuangan melawan Penjajahan Belanda .

Penggunaan sebutan “ Cina “ dengan konotasi yang Melecehkan dan Menghina serta tekanan Diskriminasi yang bertubi-tubi itu dimulai menyusul setelah terjadinya peristiwa politik yang terkenal dengan sebutan G 30 S tahun 1965. Peristiwa yang melahirkan kekuasan baru yang menamakan dirinya sebagai Orde Baru. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan baru yang diperoleh dengan jalan kekerasan tersebut, rezim Orba merasa perlu menghancur remukan mental dan nyali politik dari semua pihak yang diprasangkai menjadi musuh-musuhnya. Secara pokok musuh-musuh Orba itu dirumuskan Partai Komunis Indonesia dan Partai Komunis Tiongkok Oleh prasangka rasialnya yang kebablasan, Rezim Orba, bahwa jalur operasi PKT adalah melalui komunitas Tionghoa di Indonesia. Karena itu untuk menghancur-remukan mental dan nyali politik kedua golongan tersebut, maka rezim Orba membentuk dua lembaga. Yang satu disebut lembaga KOPKAMTIB. Lembaga ini berperan sebagai mikroskop, yang menempatkan semua saja yang dicurigai berindikasi PKI, diletakkan dibawah lensanya, untuk terus-menerus dideteksi. Yang satu lagi lembaga yang disebut Badan Koordinasi Masalah Cina ( BKMC ), sebagai kelanjutan dari lembaga yang awalnya bernama Staf Chusus Urusan Tjina (SCUT). Lembaga ini sama berperannya sebagai mikroskop ORBA yang meletakkan komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai mikrobanya. Mereka selalu dideteksi. Anehnya kalau lembaga yang berususan dengan PKI (KOPKAMTIB) sudah lama dibubarkan, sebaliknya lembaga yang selalu memikroskopi komunitas Tionghoa belum juga dibubarkan ( entah masih ada agenda apa ). Padahal pemerintahan produk reformasi telah berganti presiden yang keempat kalinya.

======================================================================
WAJIB DI INGAT

ORANG TIONG HOA BUKAN LAH KOMUNIS HINGGA SAMPAI SAAT INI GERAKKAN BAWAH TANAH DI INDONESIA DI RENCANAKAN DAN DI LAKUKAN  BUKAN DARI ORANG TIONG HOA MELAINKAN ORANG KOMUNIS ( ISLAM YANG PANATIK  YANG MENGAJARKAN JIHAT) YANG DARI JAMAN DAHULU MENGAKU SEBAGAI ORANG TIONG HOA .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN KOMENTAR

Bebas Komentar
Bebas UU ITE