Memang sangat susah untuk mengungkapkan kegelisahan yang bersinggungan dengan kondisi sosial-budaya yang terkadang sangat alergi untuk diwacanakan.
Dari judul tulisan tersebut, saya berharap akan bermunculan tanggapan dari orang-orang atau golongan di luar warga keturunan Tionghoa. Dengan begitu akan terbangun komunikasi yang tak hentinya dalam media sosial. Hanya sayangnya, orang-orang Indonesia [entah itu WNI atau WNIketurunan] adalah masyarakat yang suka lupa. Syukurlah jika seseorang lupa akan kebaikan yang diberikannya, cuma tragisnya tidak sedikit yang lupa akan keburukan yang telah ditaburnya.
Saya sendiri bingung, apakah wacana ini masih relevan dibicarakan sekarang atau memang sudah selesai. Kalau melihat sumbangsih orang-orang Tioghoa di bumi Indonesia mulai dari zaman penjajahan hingga sekarang, betapa beruntungnya bangsa ini karena tidak sedikit predikat yang baik telah mereka torehkan dalam berbagai sektor.
Dari Geliat Olah Raga Hingga Rimba Kreatif
Kita ambil contoh, bagaimana orang-orang Tionghoa yang membentuk Commite Kampionwedstrijden Tiong Hoa [CKTH] pada tahun 1927, yaitu sebuah organisasi sepak bola orang-orang Tionghoa.
Organisasi ini dibentuk untuk menutupi kekecewaan mereka terhadap penganaktirian organisasi Nederlandsch Indische Voetbal Bond [NIVB] yang terbentuk tahun 1919 yang kemudian menaungi klub-klub sepak bola di Indonesia [pada waktu itu masih Hindia Belanda]. Kekecewaan kaum Tionghoa tidak pelak juga dirasakan oleh kaum bumiputra, yang dipandang sebelah mata oleh NIVB. Akhirnya, tiga tahun kemudian, setelah CKTH terbentuk dan kemudian merubah diri menjadi Hwa Nan Voetbal Bond [HNVB] tahun 1930, pada tahun itu pula kaum bumiputra mendirikan PSSI [19 April 1930]. Semua organisasi sepak bola nasional dibubarkan dan melebur ke dalam PSSI.
Dari sinilah bagaimana kita melihat cikal bakal kompetisi sepak bola di Tanah Air yang semarak hingga kini, walau HNVB sudah tak terdengar, tapi para pemilik modal seperti perusahaan-perusahaan rokok ikut mensponsori kompetisi ini yang nota bene didominasi oleh pengusaha Tionghoa. Belum lagi bila kita melirik ke olah raga badminton [bulu tangkis]. Saya pikir tidak sedikit orang-orang Tionghoa yang sudah mengharumkan nama Indonesia di kejuaraan internasional.
Selain dibidang olah raga, warga Tionghoa banyak berperan dalam pengembangan kebudayaan.
Perlu dicatat di sini beberapa karakter yang sedikit banyak berpengaruh seperti; Soe Hok Gie [dengan perjuangannya], The Liang Gie [sebagai pengarang buku Filsafat Seni], Asmaran S. Kho Ping Hoo [penulis cerita silat] hingga Kwik Kian Gie [di bidang ekonomi]. Lain halnya bila kita berbicara di dunia perfilman. Bila kita tarik kembali waktu di masa 1926-1932, mayoritas sutradara dan produser film kala itu adalah kaum Tionghoa peranakan. Sebut saja sutradara seperti Nelson Wong dan The Teng Chun. Kedua orang tersebut tidak hanya sebagai sutradara yang memproduksi sebuah tontonan [hiburan].
Tidak pula hanya melihat film sebagai media ekspresi [seni], tapi film adalah piranti penyampaian pesan [informasi]. Mereka memperhitungkan bahwa masyarakat Tionghoa perantauan terdiri dari dua kelompok. Yang pertama yang disebut Xin Ke atau Tioghoa totok yang merupakan generasi pertama yang masih terkait erat dengan tradisi serta fanatik menggunakan bahasa negeri leluhur - yang jumlahnya sedikit pada waktu itu – dan Tionghoa peranakan yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa negeri leluhur, tetapi berkomunikasi dengan bahasa daerah di mana mereka bermukim, juga menguasai bahasa Melayu. Mereka tidak lupa bahwa citarasa masyarakat Tionghoa totok jauh berbeda dengan Tionghoa peranakan yang lebih dekat dengan budaya pribumi [HM Johan Tjasmadi dalam `100 Tahun Bioskop di Indonesia [1900-2000]', hal 19].
Tidak hanya para sutradara dan produser Tionghoa sebagai kreator film, tapi pemilik bioskop/ wadah tayangpun di tahun 1936 dimiliki oleh kebanyakan warga Tionghoa. Sebut saja Bioskop `Omni Bioscoop' [Ambarawa] dengan pemilik Djaw Kok Kay, `Esplanada' [Ambon]: Liem Chid Liong, `Corrie'[Banjarmasin]: Ong Keng Lie, `Royal Cinema' [Bengkulu]: Tjia Seng Han, `Royal Theater' Blitar]: Sie Wie Bo, `Tiong Hwa Biosc' [Bukit Tinggi]: Tjoa Sin Soe, `Oranje Bioscoop' [Gorontalo]: Liem Tjae Tong, `Cinema Palace' [Jakarta/Batavia]: Oey Soen Tjan, `Atrium Theater' ...[Malang]: Fred Young, `Roxy Theater' [Magelang]: Kho Tjie Ho, `City Theater' [Semarang]: Liem Khoen Hwan, `Capitol Theater' [Solo]: Ong Poan Thay, `Tiog Hwa Biosc' [Ternate]: Soen Seng, `Sirene Talkies' [Ujung Pandang]: T. L. Ong, dan masih banyak lagi bioskop di tempat yang sama yang mungkin saja anda akan malas membacanya bila saya salin semua.
Saya pikir dari sejumlah kecil bisnis dunia hiburan yang saya kutip tersebut adalah merupakan wadah atau media untuk mempropagandakan sebuah kebudayaan. Mengapa demikian? Karena pada masa itu, film-film yang diproduksi tidak sedikit yang bernarasikan kebudayaan [tradisi]. Bila kantong-kantong kebudayaan tersebut bertransformasi ke arah galeri seni pada masa kini, berarti ada perubahan paradigma. Saya tidak bermaksud untuk menghubungkannya [menyamakan bioskop dan galeri seni saat ini], tapi ada peralihan hasrat untuk tetap atau paling tidak mempertahankan suatu kebudayaan dalam dunia seni. [Sebagai catatan saja bahwa ada sebuah gedung di Yogyakarta yang dulunya sebagai gedung bioskop, lalu berubah wujud menjadi sebuah galeri]. Jika pada masanya perfilman di Indonesia sangat berjaya, mengapa tidak, galeri-galeri seni di Indonesia [khususnya di Pulau Jawa] sekarang ini mengambil alih untuk mengakulturasikan budaya setempat dengan budaya Tionghoa?. Jadi, warga Tionghoa yang mengolah kebudayaan masa itu, berbeda dengan warga Tionghoa yang megakomodasi seni atau kebudayaan di masa kontemporer ini. Dan di dalam dunia seni, persinggungan kebudayaan menjadi cair.
Saya sendiri tidak mendengar lagi seorang Tionghoa yang bergerak sebagai pelatih sepak bola dalam suatu klub saat ini. Hanya beberapa saat yang lalu masih ada pelatih tertua di Indonesia yang berwarga keturunan Tionghoa yaitu alm. Endang Witarsa [ayah dari Ibu Melani W. Setiawan].
Sementara sutradara atau produser di dunia perfilman yang berwarga keturunan Tionghoa sudah tidak berprestasi saat ini, atau bisa dikata tidak ada gaungnya lagi. Bahkan, para sineas Indonesia sudah diambil alih oleh sutradara `pribumi' yang masih konsisten, hingga mendapat penghargaan secara internasional.
Ilmu Pewayangan dan Sangkar Besi
Kita tinggalkan dulu wacana sepak bola dan perfilman, kita tengok aktivitas pementasan wayang yang tidak kalah serunya dengan wayang kulit. Hampir empat tahun belakangan ini, saya melihat pementasan Wayang Potehi, kemudian terlibat dalam beberapa diskusi atau pembicaraan tentang wayang tersebut. Di situ saya justru terkesima, di saat melihat para aktifisnya yang nota bene adalahorang `pribumi'. Mulai dari dalang hingga seniman musiknya. Kalau Pak Hendrotan menanyakan kemana Tionghoa Peranakan pada Hari Pahlawan?. Di sini saya juga bertanya, kemana orang Tionghoa di saat pementasan Wayang Potehi?. Bukankah narasi wayang ini banyak tentang epos?. Ataukah sudah luntur mental kebangsaan kita dan menghindar dari rimba kepahlawanan?.
Bila kita saksikan pementasan wayang tersebut, justru asimilasi sangat kental nuansanya. Selain mereka memakai bahasa `Cina' [hanya sebagian yang teraplikasi dalam pementasan], tapi lebih dominan memakai bahasa Indonesia, yang lebih mudah dipahami. Memang terasa ironi, karena dalang dari Wayang Potehi bukan lagi dari warga Tionghoa, tapi sudah diambil alih oleh warga setempat [baca: pribumi]. Bahkan ilmu mendalangnya diwariskan secara turun-temurun.
Dengan begitu, saya terkadang masih bertanya-tanya dengan statemen awal Pak Hendrotan yang mengatakan bahwa di Indonesia, sampai hari ini mengapa masih ada sebagian warga Tionghoa keturunan yang takut, salah mengerti, bahkan trauma pada asimilasi?. Pertanyaan Pak Hendrotan tersebut memang ada betulnya. Ini bisa kita peruntukkan kepada warga keturunan Tionghoa yang `susah melupakan' dan senantiasa memelihara trauma-trauma masa lalu pribadinya atau keluarganya. Bila kita melihat cara bergaul warga Tionghoa di Pulau Jawa dengan kaum pribumi, sangat disayangkan bila masih ada gesekan rasial. Sebab warga Tionghoa di Jawa sudah sangat intimnya dengan memakai bahasa setempat. Sangat berbeda dengan warga Tionghoa di Makassar atau Sulawesi Selatan pada umumnya. Bila orang Tionghoa di Jawa sudah bisa menyublim dengan bahasa Jawa dan hampir melupakan bahasa leluhurnya, beda halnya di Sulawesi Selatan. Sebagian besar warga Tionghoa masih berbahasa Mandarin dengan sesamanya dan saya tidak pernah mendengar warga Tionghoa Sul-Sel berbicara memakai bahasa setempat kepada sesama warga Tionghoa. Dan bahkan, jika melihat tampilan rumah mereka sangat `berjarak' dengan tampilan rumah pribumi. Kalau kita melihat begitu masifnya tampilan rumah mereka dengan sangkar besi pada jendela atau pintu, ini menandakan ada hal yang belum bisa dilebur. Akibatnya kecurigaan satu sama lain selalu menghantui. Belum lagi jika kita menyinggung bagaimana warga Tionghoa yang menikah dengan warga pribumi, bahkan hingga ke perbedaan keyakinan. Ini masih sangat tabu. Saya berharap pembahasan ini tidak berhenti pada media sosial seperti ini. Tapi lebih kepada media yang lebih terbuka lagi. Yang lebih akomodatif [proses penyesuaian manusia dalam kesatuan sosial untuk menghindari interaksi ketegangan] dan lebih meluas ke seluruh Indonesia.
Membangunkan Kembali Trauma Masa Lalu?
Ada pengalaman lain yang saya alami selama dua puluh tahun saya berkesenian di Yogyakarta.
Suatu saat saya menonton pameran seni rupa Agus Suwage, kemudian FX Harsono di tempat yang berlainan. Kebetulan pada saat itu saya bertemu dengan perupa asal Padang, Sumatera. Saya bertanya kepadanya, apa yang kamu tangkap dari visualisasi seperti ini. Dia menjawab, sudah saatnya trauma-trauma masa lalu dikubur saja, jangan diangkat lagi kepermukaan luka masa lalu.
Ini akan melahirkan lagi kebencian-kebencian kepada keturunan warga Tionghoa, maupun sebaliknya. Saya sendiri sependapat dengannya, hanya saja ada perspektif lain yang coba saya pahami. Bahwa di negeri tercinta ini, ada banyak hal buruk yang mudah sekali dilupakan, cuma masalahnya di sisi lain banyak juga orang yang susah melupakan trauma masa lalu dan kemudian `memeliharanya' kembali dalam sebuah wadah seperti seni rupa.
Selain itu, ketika Dadang Christanto berpameran di Sangkring Art Space beberapa waktu yang lalu dengan tajuk `Seeing Java', saat itu ada diskusi tentang kekaryaannya. Ada hal yang menarik yang menjadi konsentrasi diskusi yaitu masalah identitas. Jika tajuk pameran tersebut adalah Seeing Java, mengapa Dadang justru lebih menekankan kecinaannya?. Dan kata Dadang, dia lebih suka memakai kata Cina [kepada warga keturunan Tionghoa] dibanding memakai kata Tionghoa. Dengan maksud, lebih menekankan bahwa orang lebih mengingat kata Cina untuk tetap menjaga agar tidak terulang lagi perlakuan yang tidak pantas kepada warga keturunan ini. Saya setuju dengan pendapatnya itu.
Tapi ada hal yang justru lebih menohok kepada warga keturunan Tionghoa akan kata Cina, dibanding hanya mengingatkan warga pribumi. Yaitu suatu ketidaknyamanan karena kata tersebut lebih `berjarak' bila dibanding dengan kata Tionghoa. Jadi saya setuju dengan pemakaian kata Tionghoa karena lebih melebur, walau tidak bermaksud menanggalkan gen asal nenek moyang.
Bila kita menyimak di awal tulisan saya ini, tentang bagaimana orang-orang atau warga Tionghoa pada masanya memakai kata Tionghoa dalam organisasi olah raganya, tidak seperti halnya ketika kata tersebut berubah menjadi Cina. Memang pada masa pemerintahan Soekarno, kata Cina sudah terpakai, bahkan mungkin jauh sebelumnya, ketika imigran Cina [Tiongkok] masuk ke Indonesia. Dan pada masa pemerintahan Soekarno, bahasa, tulisan hingga kesenian Tionghoa sangat hidup. Namun sangat disayangkan ketika Soeharto memimpin Negara ini. Warga keturunan Tionghoa sangat terpasung. Semua atribut Tionghoa harus ditanggalkan. Masa perayaan Imlek atau sampai Cap Go Meh sepi dari keriuhan. Tanda atau tulisan kanji merek dagang harus dihapus. Warga Tionghoa sangat menderita dan kehilangan kemerdekaan berbudaya. Dari sinilah awal timbulnya gesekan di masyarakat hingga kata Cina lebih pas untuk penandaan rasial, bukan sebagai warga yang sudah berbaur sedemikian lamanya untuk menjadi orang Indonesia seutuhnya. Bila saya pikirkan, ada pula sisi positif dari strategi Orde Baru ini, bahwa ketika warga Tionghoa menanggalkan segala sesuatu yang melabelnya, orang Tionghoa siap `membumi' dan tidak ekslusif [Toh.. kita sudah pasti tahu bahwa `gawan bayi' pasti masih melekat].
Tentunya, statemen saya terakhir tadi sangat mengena bila kita menengok sebuah mentalitas pluralisme. Tiliklah Kiai haji Abdurrahman Wahid atau akrab disebut Gus Dur, bagaimana bapak bangsa kita ini menerapkan dan mengamini akan keberadaannya. Individu yang memiliki darah campuran akan bertutur sangat fasih dan enteng untuk menyatukan bangsa yang majemuk ini dalam wadah pluralisme. Akhirnya, seolah-olah Gus Dur adalah anti klimaks dari lengsernya Soeharto dengan rezim Orde Barunya. Dan semua menjadi hidup, barongsai yang begitu hebatnya sudah bisa kita lihat saat perayaan kebudayaan Tionghoa. Imlek sudah menjadi libur nasional. Dan atribut-atribut Tionghoa meramaikan tempat perbelanjaan, bahkan anak-anak Indonesia sudah memiliki pakaian [fashion] yang khas milik orang Tionghoa. Bila orang Tionghoa membagi-gikan angpao saat hari raya Imlek, demikian pula kaum muslim membagi-bagikan rezekinya kepada anak-anak saat Idul Fitri. Lalu masih khawtirkah kita, bila terjadi lagi masa suram seperti masa Orde Baru?. Maukah kita tetap memelihara trauma masa lalu yang menjadikan kita seperti orang paranoid hingga terjadi lagi gesekan sosial-budaya?. Tentu hal itu tidak menjadi obsesi bagi kita. Dengan tetap waspada dan menanam optimisme untuk bisa menjadi `pendekar' Tionghoa bijak dengan tidak menutup diri meminjam `jurus' kearifan lokal pribumi [Indonesia].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR
Bebas Komentar
Bebas UU ITE